Kamis

Di Sudut Indonesia Pertiwi Memanggil Pemuda ( I )

"Pemuda usia 20 tahun, dan ia belum berjuang untuk bangsanya, maka pantaslah untuk di gunduli"
(Soekarno)

Lembar-lembar sejarah punya ceritanya.Dalam rangkaian kata,fakta coba di gambarkan hingga mampu menjadi pelintas bagi generasi selanjutnya,yang akan kembali menjadi sejarah. Setiap bangsa dari zaman batu hingga zaman moderen mempunyai ukiran cerita yang menjadikannya abadi, untuk dinikmati, dipelajari,atau sekedar di pelototi. Sejarah sebagai bentuk sastra karena unsur ceritanya, tidak lepas dari penilaian-penilaian yang ditafsirkan sesuai dengan pengalaman pembacanya, bahkan bisa juga sebagai alat penjaga kekuasaan. Selain itu pula, hamparan hikmah dapat disemai dari luasnya ladang ladang sejarah.

Indonesia adalah bangsa yang cukup uzur dengan usianya 64 tahun tentunya sudah banyak ladang sejarah yang dikandungnya dan selalu siap disemai hikmahnya, namun hamparan sejarah itu dibiarkan lapuk begitu saja. Mencoba mengambil sebutir hikmah dari berbagai ladang sejarah negara ini, dari bagian terpenting yang seharusnya tak boleh terabaikan apalagi terlupakan.

Budi Utomo, organisasi yang mencuat dari pikiran dr. Wahidin Sudirohusodo, yang frustasi melihat kondisi bangsa Indonesia yang selalu bernasib buruk dan dianggap rendah dan tidak bermartabat oleh bangsa lain, selain itu perilaku para pejabat saat itu yang hanya memikirkan diri mereka sendiri dan jabatan mereka saja semakin memperparah keadaan bangsa saat itu.Seperti menarik pajak setinggi-tinginya dari petani pribumi. Bertolak dari keprihatinan itu, dr. Wahidin coba merumuskan gagasannya untuk memperbaiki itu dengan memajukan pendidikan, termasuk mencari dana pelajar bagi mahasiswa yang tidak mampu kepada tokoh-tokoh masyarakat di tanah jawa namun sayangnya tokoh-tokoh masyarakat tidak menghiraukan gagasan tersebut. DR. wahidin tidak menyerah dengan terus menyebarkan gagasan-gagasannya, hingga ia menemukan sekelompok pemuda di sekolah kedokteran STOVIA yang sangat bergairah menerima gagasan itu, dengan mendirikan organisasi bernama BUDI UTOMO pada 20 Mei 1908.

Dari sinilah kemudian batu tapal perjuangan Indonesia menemukan pijakannya, menyusul kemudian organisasi-organisasi serupa yang bergerak dalam pendidikan, perdagangan, bahkan politik. Dalam lembar sejarah itu, nama-nama banyak di isi oleh mereka yang berusia muda. Soekarno pendiri PNI ( 26 tahun ), Tan Malaka memimpin PKI ( 29 tahun ) Kartosuwirjo aktif di SI ( 28 tahun ) Semaun aktif di SI ( 14 tahun ). Maka jiwa-jiwa yang berkobar penuh visi perubahan itu terus melaju hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia dari kolonial.

Menyaksikan kondisi kebangsaan saat ini, maka nasib Indonesia saat ini tidak jauh memprihatinkan dari kondisi Indonesia pada tahun 1900-an. Kondisi rakyat masih sangat melarat, pejabat-pejabat banyak yang mementingkan kepentingan diri dan habatannya, menaikan harga-harga, memanipulasi pasar-pasar demi membuat senang atasan negara-negara kapitalis-neoliberalis. Belum lagai pendidikan yang amat susah diakses oleh kalangan tak berduit.

Kondisi bangsa telah berulang, sisa peran yang harus di mainkan. Siapakah dr. Wahidin selanjutnya ? siapakah pemuda-pemuda STOVIA berikutnya ? akankah lahir Soekarno, Tan Malaka, Kartosuwirjo, Semaun yang baru ?. Pemuda tahun 1900-an nyaring mendengar rintihan pertiwi yang memanggil mereka,.akankah pemuda 2010 akan mendengar rintihan pertiwi juga ?.

Maka sebelum waktu merenggus usia, semasih gagasan menggebu dasyat, dan masa esok terlukis jelas,mari menyahut panggilan pertiwi, "kami pemuda lahir untuk menjawabmu bunda"...

"Memperingati Hari Kebangkitan Nasional,
Tak ada mata yang terpejam
Langkah yang terhenti
Lengan yang terkulai
Fikir yang membeku
Sebelum Pertiwi Terbahak senang"

Rabu

Kisruh dualisme NDP dalam Tubuh HmI (2)

Perdebatan dalam tubuh HmI terkait dengan penggunaan dua versi NDP (NDP lama versi kongres malang tahun 1969 dan NDP beru versi kongres Makassar tahun 2006) dalam pengkaderan hari ini semakin alot dan pelik. Jika tidak diselesaikan secepatnya, maka permasalahan ini akan menjadi semakin besar bahkan bukan tak mungkin akan menyebabkan perpecahan di tubuh HmI. Semua pihak yang masih peduli dan percaya pada kekuatan HmI tentu saja tidak mau peristiwa terpecahnya HmI menjadi HmI Dipo dan HmI MPO beberapa tahun silam terulang kembali.

Benarkah permasalahan adanya dualism versi NDP ini tak bisa diselesaikan? Mari kita mencoba melihat ke belakang, terkait latar belakang penyusunan dua versi NDP ini. NDP yang disusun oleh Nurkholish Madjid (mantan ketua umum PB HmI dua periode) berangkat dari kegalauan beliau akan tidak adanya konsep seragam yang baku dan representative untuk digunakan dalam semua pengkaderan HmI. Kegelisahan ini memuncak setelah Nurkholish Madjid (Cak Nur) melakukan kunjungan ke Amerika dan Negara-negara islam di timur tengah pada penghujung tahun 60-an. Dalam perjalanannya itu, Cak Nur melihat bahwa ajaran-ajaran dan praktek-praktek keberagamaan islam di seluruh penjuru dunia ternyata sangat beragam satu sama lain. Oleh karena itu, sepulangnya ke Indonesia Cak Nur merasa bahwa inti-inti ajaran agama islam yang harusnya menjadi dasar bagi seluruh gerak langkah umat islam perlu disarikan ke dalam sebuah format resmi agar bisa diajarkan secara sistematis dalam kegiatan-kegiatan pengkaderan HmI. Karena hal inilah, cak Nur hampir menamai NDP ini dengan nama Nilai-nilai dasar Islam, namun karena takut jika nantinya NDP ini di kemudian hari menjadi tafsir tungggal atas ajaran islam, maka Cak Nur menyebutnya sebagai Nilai dasar perjuangan saja.

Puluhan tahun setelah Nilai dasar perjuangan ini dipakemkan, seiring dengan perkembangan tantangan zaman, muncullah banyak keluhan dari hampir semua daerah di Indonesia bahwa banyak hal-hal baru yang tak mampu lagi dijawab oleh NDP lama ini. Di berbagai cabang, penafsiran kader dan metode penyampaian NDP sudah berbeda-beda, di Badko Jabar dan sekitarnya msialnya, dikenal adanya metode revolusi Kesadaran, di Badko Sulselrabar dikenal adanya dialog Kebenaran, dan berbagai metode penyampaian NDP lainnya. Di berbagai daerah juga muncul keluhan bahwa NDP lama sudah susah dimengerti oleh kader HmI.

Memang, jika kita lihat, usia NDP lama yang telah 40 tahun digunakan dalam kegiatan pengkaderan HmI merupakan usia yang telah cukup lama dan meniscayakan dibutuhkannya perbaikan dan rekonstruksi. Beberapa kader bahkan berkelakar bahwa NDP ini kadang-kadang diperlakukan seperti Al-Quran buruk: dibaca enggan karena tidak paham, tapi kalau dibuang juga takut kualat. Cak Nur sendiri juga pernah mengakui bahwa ekspektasinya sewaktu menyusun NDP pertama kali ialah bahwa NDP yang disusunnya itu bisa digunakan dalam waktu dua puluh tahun, sementara sekarang usia NDP sudah empat puluh tahun.

Jadi, pada dasarnya perbaikan dan rekonstruksi NDP memang merupakan hal yang rasional dan wajar dilakukan, apalagi bagi organisasi seperti HmI yang terkenal akan kultur intelektual dan dinamisnya. Namun letak masalahnya adalah sikap kekanak-kanakan kitadalam mempertahankan NDP yang kita gunakan masing-masing.
Jika saya perhatikan, letak penolakan orang-orang yang menggunakan NDP lama terhadap NDP baru disebabkan karena dua issu besar. Pertama, karena faktor legalitas proses penyusunannya yang tidak konstitusional dan yang kedua adalah karena isi materinya yang katanya lebih condong ke mazhab tertentu.

Factor legalitas ini banyak dipertanyakan karena keabsahan tim delapan yang merupakan penyususn resmi NDP baru tidak pernah disahkan secara resmi oleh PB, apalagi kemudian terungkap bahwa penyusunan NDP ini lebih banyak merupakan pemikiran tunggal Arianto Ahmad (seorang kader HmI dar cabang Makassar). Bagi saya penolakan NDP karena proses penyusunannya ini merupakan hal yang lucu. Harusnya, sebagai seorang kader HmI yang selalu mengaku mengedepankan rasionalitas dan berpikiran terbuka, permasalahan tentang abash atau tidaknya tim penyusun ini tak perlu dibesar-besarkan. Siapapun yang menyusun NDP ini selama sesuai dengan rasionalitas dan Alquran/sunnah maka ia wajib diterima. Tak peduli mau ditulis oleh tukang becak, sopirpete-pete, ataupun seorang professor selama ia sesuai dengan kebenaran maka wajib hukumnya kita terima.

Penolakan terhadap NDP baru karena terlihat lebih condong ke mazhab pemikiran tertentu dalam islam pun sebenarnya sangat aneh, karena sepanjang yang saya tahu NDP tak pernah berbicara tentang mazhab. Perbedaan mazhab adalah perbedaan tafsiran manusia di wilayah syariat, sedangkan NDP tak membahas tentang syariat. Kalaupun beberapa pemikiran dalam NDP baru, serta penyusun-penyusunnya dikatakan lebih dekat dengan mazhab-mazhab tertentu dalam islam, bukankah kita selama ini meyakini bahwa pendapat dari mazhab apapun, selama tidak bertentangan dengan rasionalitas dan Alquran/Sunnah maka wajib kita terima? Cak Nur sendiri, orang yang menyusun NDP lama, di masa hidupnya banyak ditolak pemikirannya karena dituduh berpikiran sekuler dan kebarat-baratan. Toh tuduhan itu tidak menjadikan kita menolak sosok Cak Nur dan pemikiran-pemikirannya.

Lalu benarkah NDP ini tak bisa dipertemukan. Jawabannya, iya, jika masih tetap mempertahankan sikap arogansi intelektual kita, jika semua orang masih merasa terlalu hebat dan pintar untuk menurunkan ego.

Pada dasarnya, perbedaaan antara NDP lama serta NDP baru terletak dalam sistematika penyusunan dan pendekatannya dalam menemukan kebenaran. konten-konten materi teologis (yang terdiri dari bab I hingga bab IV) dalam NDP baru banyak dipengaruhi oleh cara berpikir metafisika islam yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir islam kontemporer, beberapa di antara pemikir-pemikir tersebut seperti Muhammad Baqir Al Shadr dan Mulla Shadra (yang banyak terlihat dalam bagian-bagian teologis NDP baru) serta Ali syariati (yang banyak dijadikan referensi pemikiran dalam aspek sosiologis NDP baru). Karena pentingnya pemahaman metafisika Islam dalam bagian teologis NDP baru, makanya dalam NDP baru ditambahkan bab logika dan kerangka berpikir.

Dalam NDP baru, diajarkan bahwa keyakinan mestilah bersumber dari pengetahuan yang rasional. Karena itu dalam bab-bab awal NDP baru diajarkan bagaimana menemukan kebenaran rasional hingga sampai pada pembuktian kebenaran ajaran Islam. Sedangkan dalam NDP lama sendiri, tidaklah banyak membahas tentang metode rasional dalam membuktikan kebenaran ajaran Islam, tapi hanya menyarikan inti ajaran-ajarannya saja. Sedangkan pada wilayah Antropo-sosiologis (bab V sampai bab VIII), NDP lama tidak banayk berbeda dengan NDP baru.

Menemukan titik temu dalam materi NDP ini sebenarnya bukanlah hal yang sulit jika semua kader mulai dari tingkatan komisariat hingga tingkatan PB mau berniat baik menurunkan ego demi perbaikan HmI ke depan. Perdebatan tentang NDP ini jika dibiarkan berlarut-larut justru akan menimbulkan perpecahan di internalHmI dan tentu saja yang akan menjadi korban adalah adik-adik di bawah. Bukankah tantangan hari ini semakin berat dan rumit, yang membutuhkan waktu dan tenaga kita? jika kita masih saja terus berdebat di wilayah NDP ini, maka kita akan dilindas oleh perubahan zaman.

Kisruh Dualisme NDP dalam Tubuh HmI (1)

Dalam dua tahun belakangan ini, ada sebuah hal menarik yang menjadi isu besar dalam dinamika permasalahan internal Himpunan Mahasiswa Islam (HmI), yaitu perdebatan tentang Nilai Dasar Perjuangan. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa perdebatan ini dimulai sejak disahkannya NDP baru di kongres HmI ke 26 di Makassar (makanya sering juga disebut sebagai NDP Makassar). Disebut baru, karena NDP ini merupakan pertama kalinya materi-materi NDP yang diajarkan di seluruh Indonesia diubah, sejak NDP ini pertama kali dirumuskan oleh Nurkholish Madjid (Cak Nur) pada tahun 1969. Pasca pengesahan penggunaan NDP baru ini sebagai dasar pengkaderan HmI menggantikan NDP versi Cak Nur (atau sering disebut sebagai NDP lama) rausan cabang yang ada di seluruh Indonesia terbelah dua, antara menggunakan NDP baru versi kongres Makassar dengan yang tetap menggunakan NDP lama.

Perdebatan tentang NDP mana yang digunakan dalam kegiatan-kegaiatan pengkaderan HmI ini berlangsung alot dan berlarut-larut dalam dua tahun belakangan. Mulai dari perdebatan warung kopi ala anak-anak HmI, menjadi bahan diskusi di forum-forum basic training hingga menjadi wacana panas yang bergulir pra-kongres.

Memang perbedaan pandangan dan pendapat dalam tradisi HmI bukanlah hal yang tabu dan janggal, bahkan budaya pluralitas dan perbedaan pandangan ini sendiri merupakan sebuah ciri khas sendiri bagi puluhan tahun pengalaman hidup HMI. Namun saya melihat bahwa ada yang salah dalam perdebatan tentang dualisme NDP di tubuh HmI selama ini. Perdebatan tentang NDP yang saya lihat cenderung mengarah pada perdebatan yang tidak substantif. Mengapa saya katakan tidak substantif, karena argumentasi-argumentasi yang sering muncul dalam perdebatan NDP bukanlah argumentasi yang menjelaskan tentang materi NDP yang berusaha dipertahankan oleh masing-masing pihak, melainkan argumentasi yang berusaha menyerang kelemahan NDP lain. Parahnya, saya melihat ada kecenderungan bahwa yang diserang dari NDP lain itu bukanlah isi NDP nya melainkan proses penyusunan NDP nya.

Coba kita perhatikan, Pihak yang mendukung NDP lama menyerang NDP baru karena proses penyusunannya yang katanya sangat tidak konstitusional, karena legalitas tim 8 sebagai penyusun naskah NDP tidak pernah diakui, Selain itu tim penyusunnya waktu itu dipengaruhi oleh pemikiran tunggal Arianto Ahmad yang disebut-sebaut sebagai pencetus ide NDP baru. Jika anda pernah membaca laporan hasil kerja tim sembilan (tim yang dibentuk oleh Pengurus Besar HmI untuk memverivikasi keabsahan NDP) serta naskah NDP yang dikirim ke seluruh cabang, maka kita bisa melihat bahwa argumentasi diberikan oleh Pengurus Besar (PB) HmI (yang belakangan menyatakan kembali ke NDP lama versi Cak Nur) merupakan penghakiman-penghakiman atas proses penyusunannya.

Di lain pihak, para pendukung NDP baru juga cenderung terjebak dalam perdebatan kekanak-kanakan ini dengan menyerang pemikiran Cak Nur sewaktu penyusunan NDP lama yang katanya banyak dipengaruhi oleh perjalanannya ke Amerika dan Timur Tengah.
Kenyataan ini diperparah dengan sikap tidak dewasa yang turut dipertontonkan oleh kader-kader HmI dalam polemik NDP ini. Sikap arogan dan merasa benar sendiri merupakan hal yang lumrah kita temui dalam perdebatan-perdebatan tentang NDP. Beberapa forum ilmiah yang harusnya bisa menjadi tempat dialog dan mempertemukan pendapat, berakhir tanpa menghasilkan apa-apa karena masing-masing pihak tidak dewasa dalam memandang permasalahan ini. Tokoh-tokoh dan sesepuh HmI yang harusnya bisa menunjukkan sikap dewasa dalam perdebatan ini juga malah ikut-ikutan menunjukkan arogansi intelektualnya, bahkan dalam beberapa hal menunjukkan taqlid buta dan pengagungan berlebihan terhadap Cak Nur.

Harusnya, perdebatan-perdebatan tentang NDP ini tidak dibawa ke perdebatan kusir yang tak kunjung usai melainkan dibawa ke forum-forum yang ilmah. Tapi tentu saja, menyediakan forum ilmiah juga tak akan pernah menyelesaikan masalah jika tak dibarengi dengan kedewasaan kader HmI dalam memandang persoalan ini. Bagi yang mendukung NDP lama versi kongres Makassar, silahkan ajukan rasionalisasi di forum ini secara ilmiah, jangan menutup diri terhadap perubahan, bukankah Cak Nur sendiri pernah bilang bahwa NDP hanyalah tafsiran beliau terhadap ajaran agama Islam yang selalu terbuka untuk dikritik dan diperbaiki. Yang mendukung NDP baru juga silahkan ajukan argumentasi dan berhenti memojokkan Cak Nur. Semua pihak juga harus berupaya persoalan NDP ini tidak dibawa ke ranah-ranah politis. Bagi para senior-senior HmI, juga harus menunjukkan kebijaksanaan dan keluasan cara berpikir, karena arogansi intelektual hanya akan membuat kita ditertawakan. Bukankah selama ini kader-kader HmI selalu mengklaim diri sebagai manusia-manusia intelektual, yang selalu bepikir inklusif dan dinamis?

Terakhir, saya ingin menyitir pendapat salah seorang pengurus PB HmI (saya lupa namanya) terkait dengan dualisme NDP ini. Beliau bilang, Jika kita ingin menyelesaikan masalah NDP ini secara serius, singkirkan NDP Cak Nur, singkirkan NDP Makassar, mari susun NDP baru. Mari melangkah maju, jangan mundur ke belekang.